Gravitasi dan tekanan Gas
Tiga orang astronom, Carl Hansen, Steven
Kawaler, dan Virginia Trimble, dalam buku teks terbaru mereka tentang
struktur bintang, berjudul Stellar Interiors: Physical Principles, Structure, and Evolution
(Interior Bintang: Prinsip Fisis, Struktur, dan Evolusi), menulis,
“Jika Anda ingin tahu bagaimana bintang bekerja, pergilah keluar dan
lihatlah mereka selama beberapa malam. Apa yang mereka lakukan hanyalah
bersinar dengan stabil sepanjang waktu.” Secara historis ini betul. Mari
kita lihat Matahari sebagai contoh.
Matahari masih satu-satunya bintang yang dapat kita pelajari dengan detail
Penemuan-penemuan fosil menunjukkan bahwa
kehidupan di Bumi sudah ada paling tidak semenjak 3 milyar tahun lalu.
Studi tentang kandungan kimiawi pohon-pohon tertua dan fosil-fosil
tersebut juga menunjukkan bahwa Bumi tidak mengalami perubahan besar
yang disebabkan oleh ketidakstabilan matahari. Apa yang dilakukan
matahari kita “hanyalah” bersinar begitu lama!
Sinar matahari yang kita nikmati sekarang
sama dengan sinar matahari yang dinikmati nenek moyang kita di zaman
dahulu, bahkan sama pula dengan yang dinikmati dinosaurus puluhan juta
tahun lalu. Dalam rentang waktu jutaan tahun, matahari relatif stabil.
Tentu timbul pertanyaan: kenapa matahari bisa begitu stabil?
Pertama-tama, mari kita coba hitung massa matahari. Kita sekarang tahu
bahwa jarak Bumi kita ke Matahari adalah 150 juta km, sementara waktu
yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi Matahari adalah 1 tahun yaitu
365.25 hari. Anggap saja Bumi mengelilingi matahari dalam orbit
berbentuk lingkaran, sehingga kecepatan Bumi mengelilingi matahari
adalah 100 000 km/jam.
Matahari dan objek-objek yang mengitarinya menaati Hukum Gravitasi
Karena kita tahu bahwa gerakan Bumi
berasal dari tarikan gravitasi Matahari, maka dapat kita simpulkan dari
Hukum Gravitasi bahwa gaya gravitasi Matahari dihasilkan oleh massa
sebesar 2 x 10^30 kg! Ini kira-kira sama dengan 330 000 kali massa Bumi.
Kenapa massa yang begitu besar ini tidak
runtuh ke pusatnya? Sebuah gedung tinggi punya massa besar dan tetap
berdiri karena ada pilar-pilar kerangka yang menopang seluruh massa
gedung. Namun bila pilar-pilar ini diledakkan oleh pakar peruntuh
gedung, seluruh bangunan akan runtuh secara bersamaan ke bawah, ke arah
pusat Bumi. Demikian pula dengan matahari, bila tidak ada “sesuatu” yang
menopang seluruh massa tersebut, maka matahari akan runtuh ke arah
pusatnya dalam waktu kurang dari setengah jam! Karena kita tidak pernah
melihat hal itu terjadi, berarti ada sesuatu yang menopang struktur
matahari (Lihat video peruntuhan sebuah gedung tua. Inilah yang terjadi
bila matahari kehilangan struktur penopangnya).
Kita anggap saja bahwa Matahari adalah
sebuah bola gas yang berpijar. Bila hal itu betul, kita dapat anggap gas
di dalam matahari sebagai sebuah gas ideal yang memancarkan radiasi
elektromagnetik. Hukum Gas ideal mengatakan bahwa gas yang dimampatkan
akan menghasilkan tekanan yang melawan pemampatan itu. Bila gas tersebut
memancarkan radiasi elektromagnetik, maka Matahari juga menghasilkan
tekanan radiasi yang arahnya ke luar permukaan matahari.
Lapisan
yang lebih dalam mengalami tekanan gravitasi yang lebih besar, oleh
karena itu untuk mengimbanginya tekanan radiasi juga harus sama
besarnya.
Bila suhu di pusat matahari kita ketahui
dengan pemodelan teoritik, maka suhu di permukaan matahari kita ketahui
melalui pengamatan. Apabila kita melewatkan sinar matahari pada prisma,
maka kita akan melihat bahwa sinar matahari yang berwarna putih tersebut
akan terbagi-bagi menjadi sinar dengan berbagai warna, dari warna merah
hingga warna ungu. Warna-warna yang berbeda ini adalah tanda bahwa
cahaya terbagi-bagi atas sinar dengan energi yang berbeda-beda. Artinya
radiasi elektromagnetik merentang dari energi tinggi hingga energi
rendah (sinar Gamma dan sinar-X adalah contoh radiasi energi tinggi,
sementara sinar inframerah, gelombang Radio, dan gelombang mikro (microwave) adalah contoh radiasi energi rendah), dan radiasi yang kasat mata kita namakan sebagai cahaya.
Sumber radiasi elektromagnetik adalah sebuah pemancar sempurna yang kita namakan benda hitam.
Lagi-lagi benda hitam, sebagaimana gas ideal, hanyalah objek khayal.
Namun sifat-sifat radiatif matahari dapat didekati bila kita menganggap
matahari sebagai sebuah benda hitam.
Benda
hitam yang memancarkan energinya pada suhu tertentu akan memiliki kurva
distribusi energi yang spesifik pada temperatur tersebut. Sumber:
Wikipedia
Eksperimen menunjukkan bahwa sebuah benda
hitam memancarkan energinya dalam bentuk radiasi elektromagnetik dan
energinya dipancarkan pada seluruh panjang gelombang. Namun intensitas
energi pada setiap panjang gelombang tidak sama, dan setiap benda hitam
yang memiliki temperatur tertentu memiliki panjang gelombang di mana
intensitas energinya paling tinggi. Semakin tinggi temperatur sebuah
benda hitam, semakin pendek panjang gelombang di mana energi paling
tinggi memancar (lihat gambar kurva benda hitam). Dengan demikian, benda
hitam yang memancarkan energinya pada suhu tertentu akan memiliki kurva
intensitas energi yang unik. Untuk mengetahui bentuk kurva ini, kita
dapat memecah cahaya pancaran benda hitam ini ke dalam spektrumnya
masing-masing. Permukaan Matahari dapat kita anggap sebagai sebuah benda
hitam, dan oleh karena itu bentuk sebaran energi matahari dapat
didekati dengan kurva pancaran benda hitam. Dengan melakukan pengamatan
spektroskopi pada matahari, kita dapat mengetahui seperti apa spektrum
matahari dan dengan demikian dapat diketahui pula temperatur
permukaannya yaitu 5800 Kelvin.
Pengamatan spektrum bintang-bintang lain
ternyata menunjukkan perilaku yang sama: bintang juga merupakan sebuah
benda hitam dan memancarkan radiasi elektromagnetik. Namun, temperatur
permukaan bintang berbeda-beda. Ada yang lebih panas dari matahari, ada
pula yang lebih dingin dari matahari. Walaupun demikian, semua bintang
yang kita amati berlaku seperti sebuah benda hitam. Dari pengamatan
spektrum matahari dan bintang-bintang lain inilah kita dapat
menyimpulkan bahwa bintang-bintang yang kita amati di langit malam itu
sebenarnya adalah matahari-matahari lain yang letaknya teramat sangat
jauh sehingga sinarnya demikian redup bila dibandingkan dengan matahari
yang lebih dekat. Karena sekarang kita sudah tahu bahwa bintang adalah
objek yang sama dengan matahari kita, maka bintang-bintang lain pun
dapat kita anggap pula sebagai sebuah bola gas yang berada dalam
kesetimbangan hidrostatik. Apa yang kita ketahui tentang kesetimbangan
matahari dapat kita terapkan pula pada bintang!
Sumber Energi Bintang
kita sudah mengetahui kenapa bintang
tetap stabil selama milyaran tahun, yaitu karena adanya kesetimbangan
antara gaya gravitasi dengan tekanan termal atau tekanan radiasi.
Hermann von Helmholtz (1821 – 1894)
William Thomson yang lebih dikenal sebagai Lord Kelvin (1824 – 1907)
Kita bisa melihat juga dari mana
munculnya gaya gravitasi, namun paparan pada bagian pertama malah
menimbulkan pertanyaan baru: dari mana asalnya tekanan radiasi? Tentu
saja tekanan radiasi dihasilkan oleh pembangkitan energi dalam bintang.
Bintang menghasilkan energi yang kemudian menghasilkan tekanan radiasi
sehingga menyeimbangkan bintang. Namun lagi-lagi, dari mana energi bintang? Inilah misteri kuno yang membutuhkan waktu lama untuk dijawab.
Energi dari pengerutan Matahari?
Pada abad 19, dua orang fisikawan besar,
Lord Kelvin dari Inggris dan Hermann von Helmholtz dari Jerman secara
terpisah mencoba menjawab persoalan ini: Bagaimana jika energi matahari
berasal dari pengerutannya? Anggaplah pada masa lalu ukuran matahari
jauh lebih besar daripada ukurannya yang sekarang. Lalu perlahan-lahan,
matahari mengerut karena tarikan gravitasi dari massanya. Pengerutan ini
akan membebaskan energi potensial yang dapat diubah menjadi energi
panas atau energi termal. Berapa energi potensial yang dibebaskan
Matahari? Seandainya matahari di masa lalu memiliki jari-jari yang jauh
besar daripada jari-jarinya yang sekarang, maka pengerutan Matahari
telah membebaskan energi potensial sebesar 4 x 10^48 erg. Menurut
teorema virial, bila sebuah sistem gravitasi (seperti Matahari) mengubah
kesetimbangannya, maka setengah dari energi potensialnya akan diubah
menjadi energi termal, sementara setengah lagi akan dipancarkan. Dengan
demikian, energi yang dipancarkan matahari adalah 2 x 10^48 erg. Energi
ini sangat besar, namun inikah sumber energi matahari?
Kurva sebaran intensitas energi sebuah benda hitam
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu
mengetahui berapa energi yang dipancarkan matahari setiap detiknya. Ini
dapat dihitung apabila kita, sekali lagi, mengandaikan matahari sebagai
sebuah benda hitam sempurna yang berpijar. Dengan pengandaian ini, maka
kurva sebaran energi sebuah benda hitam dapat kita gunakan untuk
menghitung keluaran energi benda hitam tersebut di seluruh panjang
gelombang, lalu menjumlahkan seluruh energi pada panjang gelombang yang
berbeda-beda tersebut. Dari prosedur ini, kita akan memperoleh sebuah
hukum yang bernama Hukum Stefan-Boltzmann, yang menyatakan bahwa total
energi setiap detik yang dipancarkan dari setiap satuan area permukaan
sebuah benda hitam ternyata hanya tergantung pada suhunya. Karena kita
tahu berapa luas permukaan Matahari (anggap Matahari berbentuk bola
dengan jari-jari 700.000 km) dan juga suhu permukaannya yaitu 5800 K,
maka dapat dihitung total energi yang memancar dari seluruh permukaan
Matahari pada saat ini adalah 3.8 x 10^33 erg setiap detiknya! Ini sama
dengan 3.8 x 10^26 Watt. Bayangkan berapa jumlah rumah yang dapat
diterangi oleh energi Matahari apabila setiap rumah membutuhkan daya
1000 Watt. Tentu saja energi ini memancar ke segala arah dan hanya 1400
Watt per meter persegi yang sampai ke Bumi.
Sekarang kita sudah tahu bahwa Matahari
memancarkan energi 3.8 x 10^33 erg setiap detiknya, dan bahwa total
energi yang dihasilkan dari pengerutan gravitasi adalah 2 x 10^48 erg.
Andaikan selama ini matahari memancarkan energinya secara konstan dan
tidak berubah, maka pengerutan gravitasi ini telah berlangsung selama
kira-kira 17 juta tahun. Dari tanda-tanda kehidupan di Bumi, kita telah
menyadari kehidupan telah berlangsung selama 3 milyar tahun, sementara
pengerutan Kelvin-Helmholtz hanya sanggup menghasilkan energi yang
sebanding dalam skala puluhan juta tahun. Jadi, harus ada sumber energi
lain yang dapat menghasilkan energi dalam skala 10^33 erg selama
milyaran tahun.
Penelitian Pierre dan Marie Curie menunjukkan fenomena radioaktivitas yang membebaskan energi dalam jumlah besar
Radioaktivitas
Alternatif lain untuk menjawab problem
ini adalah melalui fenomena radioaktif. Pada tahun 1896, Henri Becquerel
menemukan fenomena radioaktivitas. Atom berat seperti Uranium memiliki
sifat radioaktif, dan atom ini memancarkan energi berjumlah besar dalam
bentuk radiasi. Mengapa bisa demikian? Tidak ada yang mengerti.
Suami-istri Pierre dan Marie Curie-lah yang mencoba menjawab pertanyaan
ini dan membayarnya dengan nyawa mereka. Interaksi keduanya dengan
bahan-bahan radioaktif begitu dekat, dan pada waktu itu, bahaya radiasi
nuklir belum disadari. Catatan-catatan riset mereka menjadi begitu
bersifat radioaktif setelah bertahun-tahun terekspos radiasi Radium,
sehingga sampai saat ini, catatan-catatan itu harus disimpan dalam kotak
berlapis timah. Marie Curie meninggal akibat leukemia, setelah
bertahun-tahun meneliti fenomena radioaktivitas dan bersentuhan dengan
radiasi. Bagaimanapun, pengorbanan Pierre dan Marie yang bereksperimen
di dalam laboratorium sempit mereka di Paris menunjukkan adanya sumber
energi yang luar biasa besar di dalam atom.
Bagaimana sumber energi ini dapat
dihasilkan? Tidak ada yang memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam
atom. Pada akhir abad 19, para fisikawan membayangkan atom hanya
seperti bola sederhana yang bermuatan positif dan di dalamnya elektron
yang bermuatan negatif tersebar secara merata dan menetralisir muatan
positif proton. Model seperti ini misalnya adalah model kue kismis J.J.
Thomson. Namun struktur ini tidak mampu menjelaskan fenomena
radioaktivitas. Percobaan-percobaan selanjutnya yang dilakukan Ernest
Rutherford serta Hans Geiger dan Ernest Marsden menunjukkan bahwa
seluruh proton dalam atom terkonsentrasi dalam nukleus/inti
bermuatan positif, dan nukleus ini dikelilingi oleh elektron. Yang
paling mengejutkan dari eksperimen Rutherford adalah bahwa diameter
nukleus ini 100 000 kali lebih kecil daripada diameter atom. Bila kita
bayangkan sebuah inti atom berukuran bola ping pong, maka elektronnya
akan mengorbit inti atom tersebut sekitar 500 meter dari bola ping pong
tersebut! Ini sangat luar biasa. Segala hal yang dapat kita raba,
pegang, dan rasakan, ternyata tersusun atas … ruang kosong!
Rutherford bereksperimen dengan partikel alpha untuk meraba-raba struktur atom
Inti atom yang terdiri atas Proton dan Neutron dikelilingi oleh
Elektron dalam jumlah yang sama. Meskipun tidak terlalu akurat, namun
model ini dapat menjelaskan fenomena radioaktivitas.
Elektron terikat oleh inti atom karena
adanya gaya listrik tarik-menarik antara muatan negatif yang terkandung
dalam elektron dengan inti yang bermuatan positif. Rutherford
menunjukkan bahwa inti atom terdiri atas proton yang bermuatan positif,
serta setiap atom memiliki jumlah proton dan elektron yang sama. Dengan
demikian, jumlah muatan totalnya adalah nol dan dapat kita katakan bahwa
atomnya bersifat netral. Di kemudian hari, murid Rutherford, James
Chadwick, menemukan bahwa di dalam inti atom juga terdapat neutron yang
tidak bermuatan.
Dengan adanya pemahaman tentang struktur
atom ini, fisikawan mulai dapat memahami fenomena radioaktivitas yang
ditemukan Becquerel, Pierre Curie, dan Marie Curie. Sebuah unsur bisa
berubah menjadi unsur lain karena adanya perubahan jumlah proton dan
elektron di dalam atomnya. Dalam setiap atom terkandung jumlah proton
dan elektron yang spesifik hanya dimiliki oleh atom tersebut, dan bila
proton dan elektron dipertukarkan, maka sebuah inti atom dapat berubah
menjadi inti atom lain.
Peluruhan
Radium menjadi Radon adalah fenomena radioaktivitas yang diamati Pierre
dan Marie Curie. Radium meluruh menjadi Radon sambil memancarkan
radiasi dalam bentuk partikel Alfa
Salah satu contoh adalah Radium yang
dipelajari oleh Pierre dan Marie Curie. Radium memiliki 88 buah proton
dan 138 neutron. Jumlah ini cukup besar dan cenderung tidak stabil serta
dapat berubah menjadi unsur lain. Dalam hal Radium, 2 buah proton dan 2
buah neutron dapat dilepaskan sehingga ia berubah menjadi Radon yang
memiliki 86 proton dan 136 neutron. Gabungan 2 proton dan 2 neutron ini
disebut dengan partikel Alfa. Inilah radiasi yang perlahan-lahan
membunuh Marie Curie. Reaksi pemecahan sebuah unsur besar menjadi unsur
kecil ini disebut reaksi fisi dan merupakan mekanisme kerja di balik bom
atom ataupun reaktor nuklir. Atom-atom berat seperti Radium relatif tak
stabil dan akan melepaskan partikel alfa dengan sendirinya melalui
fenomena yang disebut dengan peluruhan.
Mungkinkah reaksi sebaliknya , yaitu
penggabungan 2 atom yang kecil, bisa menghasilkan energi? Hidrogen hanya
memiliki 1 proton dan merupakan atom yang paling sederhana dari segi
susunan proton dan elektronnya. Secara teoretis, penggabungan 2 atom
Hidrogen menjadi Helium yang memiliki 2 proton adalah mungkin. Ini
disebut dengan reaksi fusi. Melalui pengamatan spektroskopi, kita
mengetahui bahwa Hidrogen dan Helium adalah dua unsur paling berlimpah
di dalam bintang. Jadi, mungkinkah Matahari menghasilkan energinya
melalui reaksi fusi?
Hidrogen adalah atom yang relatif stabil,
oleh karena itu—tidak seperti atom berat yang meluruh—reaksi fusi tidak
terjadi dengan sendirinya. Harus ada sebuah kondisi yang teramat
ekstrem. Dalam kondisi tersebut, Hidrogen dapat melebur menjadi Helium.
Kondisi ekstrem ini membutuhkan suhu dan tekanan yang teramat tinggi.
Pada bagian pertama kita sudah mengetahui bahwa ada tekanan gravitasi
yang besarnya semakin tinggi apabila kita semakin mendekati pusat
bintang. Mungkinkah di pusat bintang, tekanan gravitasi dan suhunya luar
biasa besar sehingga reaksi fusi dapat terjadi?
Pada bagian pertama kita sudah
mengandaikan Matahari berada dalam kesetimbangan antara tekanan
gravitasi dengan tekanan radiasi, sebuah kesetimbangan yang kita sebut
dengan kesetimbangan hidrostatik. Berbekal asumsi ini, kita dapat
menghitung tekanan gravitasi yang terjadi di pusat matahari, yaitu 3.4 ×
10^{11} atm atau kira-kira 340 milyar kali tekanan atmosfer kita! Bila
kita andaikan bahwa gas di pusat matahari adalah gas ideal, maka hukum
gas ideal memungkinkan kita menghitung suhu di “tungku” matahari apabila
kita mengetahui berapa besar tekanan di pusat matahari. Suhu di
“tungku” matahari dengan demikian kira-kira adalah 15 juta Kelvin!
Reaksi fusi yang sederhana terjadi dengan menggabungkan 4 atom Hidrogen menjadi 1 atom Helium
Suhu dan tekanan ini amat tinggi dan
memungkinkan terjadinya reaksi fusi. Berapa energi yang dibebaskan oleh
reaksi ini? Dari eksperimen, diketahui bahwa massa 1 atom Helium sedikit
lebih ringan daripada massa 4 atom Hidrogen. Ada massa yang hilang
sebanyak 0.7% massa 4 atom Hidrogen, artinya setiap 1 kg Hidrogen akan
berubah menjadi 0.993 kg Helium, dan sisa massa yang hilang sebanyak
0.007 kg ini akan diubah menjadi energi. Berapa jumlah energi yang
dibebaskan oleh 0.007 kg massa ini? Ketika Enstein meneliti efek-efek
relativitas khusus, dia menemukan bahwa energi (E) dan massa (m) ternyata ekivalen dan dapat saling berubah melalui persamaan yang amat terkenal itu, E = mc^2, dengan c
adalah kecepatan cahaya. Kecepatan cahaya adalah 300 000 km per detik
(3 x 10^{8} meter per detik), sebuah kecepatan yang amat tinggi. Dengan
demikian sejumlah kecil massa dapat diubah menjadi energi yang jumlahnya
sangat besar, karena faktor konversi c^2 yang sangat besar.
Melalui rumus Enstein yang amat terkenal ini, kita dapat menghitung
bahwa reaksi 1 kg Hidrogen menjadi 0.993 kg Helium akan membebaskan
massa sebesar 0.007 kg yang ekivalen dengan energi sebesar 0.007 x (3 x
10^8)^2 = 6.3 x 10^{14} Joule energi. Ini sebanding dengan energi yang
dihasilkan oleh pembakaran 100 000 ton batubara!
Cukupkah energi sebesar ini untuk
menghidupi Matahari? Kita mengetahui bahwa jumlah Hidrogen dalam
Matahari kurang lebih adalah 75% dari total massa Matahari. Kita dapat
menghitung, berapa jumlah energi yang akan dibebaskan andaikan 10% dari
Hidrogen ini dilebur menjadi Helium:
Energi = 0.007 x 0.75 x 0.1 x (2 x 10^{30}) kg x (3 x 10^{8} m/s)^2 = 9.4 x 10^{43} Joule = 9.4 x 10^{50} Erg.
Sebuah energi yang luar biasa besar,
hampir seribu kali lipat energi yang dibebaskan oleh pengerutan
gravitasi! Berapa lamakah reaksi nuklir ini dapat menghidupi Matahari?
Sebagaimana kita ketahui, energi yang dipancarkan Matahari adalah 3.8 x
10^26 Joule setiap detiknya. Ini artinya Matahari dapat bersinar
sepanjang 7.5 Milyar tahun!
Angka ini cukup konsisten dengan apa yang
kita ketahui. Diduga, Matahari dan tata surya kita terbentuk antara 4
hingga 5 milyar tahun lalu. Perhitungan modern yang lebih teliti
menyimpulkan bahwa daerah di dalam Matahari yang cukup panas untuk dapat
menghasilkan reaksi nuklir hanyalah daerah yang mencakup 10% dari total
Hidrogen dalam Matahari, sebagaimana perhitungan kita di atas. Lebih
lanjut, lama waktu pembakaran Hidrogen menjadi Helium ini adalah
kira-kira 10 milyar tahun. Jadi, Matahari yang saat ini usianya 5 milyar
tahun berada dalam usia paruh baya dan masih akan bersinar hingga 5
milyar tahun lagi.
Dengan demikian, pada bagian ini kita
telah menyimpulkan bahwa Matahari menghasilkan energinya dari reaksi
fusi. Reaksi fusi adalah reaksi yang menggabungkan atom kecil menjadi
atom besar, dalam hal ini adalah peleburan 4 atom Hidrogen menjadi 1
atom Helium. Perhitungan kita atas tekanan dan suhu di bagian inti
Matahari juga menyimpulkan bahwa tekanan dan suhu di bagian inti cukup
panas dan padat untuk dapat memicu reaksi fusi.
Namun demikian, seperti apakah persisnya
reaksi ini? Kondisi ekstrem yang dapat menghasilkan reaksi fusi sangat
sulit diciptakan di Bumi. Membuat simulasi inti matahari dengan tekanan
ratusan milyar kali tekanan atmosfer Bumi dan suhu 15 juta Kelvin
amatlah sulit. Satu-satunya cara untuk meraba detail-detail reaksi
nuklir di dalam “tungku” Matahari adalah dengan cara perhitungan
teoretis, kemudian membandingkannya dengan apa yang kita amati pada
permukaan Matahari. Ini adalah sebuah pekerjaan yang sulit, dan akan
diceritakan pada bagian berikutnya.
Reaksi Nuklir
kita mengikuti proses olah pikir yang
menyimpulkan bahwa energi radiasi dihasilkan dari proses radioaktif dan
bahwa pengamatan spektrum cahaya Matahari sepanjang abad ke-19
menunjukkan bahwa Matahari penuh dengan Hidrogen.
Norman Lockyer menemukan unsur misterius pada Matahari, unsur yang tidak ditemukan di Bumi
Pada tahun 1868, secara hampir bersamaan,
astronom Perancis Pierre Janssen dan astronom Inggris Norman Lockyer
mengamati adanya unsur misterius pada Matahari. Sebuah unsur yang tidak
ditemukan di Bumi. Lockyer kemudian menamai unsur misterius ini Helium,
dari kata Bahasa Yunani “Helios” yang berarti Matahari.
Baru sekitar 30 tahun kemudian pada tahun
1895, kimiawan Skotlandia, William Ramsay secara tak sengaja menemukan
gas Helium di Bumi. Ramsay membakar asam belerang untuk mencari Argon,
namun setelah memisahkan gas Nitrogen dan Oksigen yang tercipta dari
hasil pembakaran tersebut, Ramsay melihat adanya spektrum unsur
misterius Helium tersebut. Bersama-sama, Hidrogen dan Helium pada
umumnya adalah dua unsur paling berlimpah dalam sebuah bintang. Matahari
kita, misalnya, mengandung 34% Hidrogen dan 64% Helium, dan 2% adalah
gabungan unsur lain-lainnya.
Rahasia berabad-abad tentang penyusun
dasar Matahari telah terjawab. Ketika astronom mengarahkan
spektroskopnya ke arah bintang-bintang lain, terkuaklah misteri lain
tentang hakikat bintang: spektrum bintang ternyata sama dengan Matahari!
Dengan kata lain, Matahari adalah bintang yang letaknya sangat dekat
dengan kita. Bintang dan Matahari adalah objek yang sama namun jarak
bintang jauh lebih besar daripada jarak Bumi kita menuju Matahari.
Besarnya peran spektroskopi dalam menguak rahasia alam ini kemudian
dikenang dengan memparodikan teks lagu Bintang Kecil dalam Bahasa Inggris:
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are;
For by spectroscopic ken,
I know that you’re hydrogen;
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are.
I don’t wonder what you are;
For by spectroscopic ken,
I know that you’re hydrogen;
Twinkle Twinkle little star,
I don’t wonder what you are.
Kenapa Matahari dan bintang dapat
bersinar? Dari mana energinya? Penelitian pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 mengenai hakikat atom dan radioaktivitas menyimpulkan bahwa
reaksi nuklirlah yang membangkitkan energi Matahari. Pada bagian kedua,
kita telah melihat bahwa Hidrogen yang jumlahnya berlimpah di dalam
Matahari dapat melangsungkan reaksi nuklir hingga milyaran tahun.
Seperti bagaimanakah reaksi nuklir ini?
Reaksi fusi dapat terjadi dalam kondisi
yang teramat ekstrim, dan telah diperkirakan bahwa inti Matahari cukup
ekstrim untuk dapat melangsungkan reaksi tersebut. Sebagaimana kita
ketahui, suhu pada inti Matahari berkisar 15 juta Kelvin. Dalam teori
dinamika gas, suhu suatu gas menyatakan energi kinetik yang terkandung
dalam gas tersebut, akibat gerakan-gerakan atom dari gas tersebut. Suhu
yang amat tinggi dalam suatu gas menyatakan gerakan atom yang amat luar
biasa. Tekanan yang amat tinggi juga dapat menyatakan kerapatan dari gas
tersebut. Semakin rapat suatu gas, semakin dekat jarak antar nukleus
atom satu sama lain.
Agar
dapat terjadi reaksi fusi, sebuah nukleus harus memiliki energi yang
lebih besar daripada potensial penghalang pada jarak kritis 10-15 meter, agar gaya nuklir kuat dapat mengalahkan gaya listrik.
Untuk memicu adanya reaksi fusi, dua buah
atom harus dapat mengatasi gaya tolak antara keduanya. Inti atom
memiliki muatan positif yang saling tolak-menolak apabila bertemu muatan
sejenis. Akibatnya, dua buah atom Hidrogen yang dipertemukan akan
saling menolak. Gaya tolak ini akan semakin besar apabila jaraknya
semakin dekat. Namun apabila jarak antara dua atom ini sangat dekat maka
gaya tarik yang disebut gaya nuklir kuat dapat mengatasi gaya
tolak-menolak antara kedua nukleus, mengikat kedua inti Hidrogen dan
membentuk Helium. Berapa jarak minimal yang harus dicapai dua atom
Hidrogen agar dapat melebur menjadi Helium?
Dengan berbekal pengetahuan fisika
nuklir, Fritz Houtermans mencoba menjawab pertanyaan ini. Ia lahir di
Zoppod, sebuah kota kecil di dekat Danzig di Jerman Baltik (kini bernama
Gdansk dan berada di Polandia). Pada tahun 1920an ia bekerja sebagai
peneliti di Gottingen, Jerman, dan bekerjasama dengan peneliti Inggris
bernama Robert d’Escourt Atkinson untuk menjelaskan reaksi nuklir dalam
Matahari. Bersama-sama, mereka menghitung bahwa jarak minimal yang harus
dicapai kedua atom adalah 10-15 meter atau satu per satu
trilyun milimeter(!) Mereka yakin bahwa kerapatan gas di pusat Matahari
sangat tinggi sehingga jarak antar atom akan sangat dekat, dan terlebih
lagi energi kinetiknya akan sangat tinggi sehingga gerakan mereka akan
sangat cepat. Besar kemungkinan akan ada atom-atom yang dapat mencapai
jarak sekecil ini dan memicu reaksi nuklir. Hasil perhitungan mereka
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Zeitschrift für Physik pada
tahun 1929. Begitu senangnya Houtermans dengan hasil perhitungan mereka,
sehingga sorenya ia membanggakan hasil penemuannya pada gadis yang
dikencaninya. Malam itu, bintang-bintang bersinar terang dan pacarnya
berkata, “cantik sekali ya sinar bintang-bintang itu?” Houtermans
menjawab, “Sejak kemarin aku sudah tahu apa yang menyebabkan mereka
bersinar.” Charlotte Riefenstahl, gadis itu, dengan terkagum-kagum
kemudian menikahinya.
Houtermans boleh berbangga diri, namun
masih ada problem dengan temuannya mengenai jarak minimal yang dapat
memicu reaksi fusi. Pada jarak kritis ini, besarnya energi potensial
yang ditimbulkan kedua atom adalah sekitar 1000 kilo elektron Volt.
Apabila sebuah atom yang telah mencapai jarak kritis ini tidak memiliki
energi yang lebih besar daripada energi ini, maka peleburan tidak akan
terjadi. Jadi ada semacam “dinding” potensial yang harus ditembus sebuah
atom Hidrogen apabila ia ingin melebur dengan atom Hidrogen lain.
Namun, setiap atom Hidrogen rata-rata hanya memiliki energi sebesar 1
keV, 1000 kali lebih kecil daripada energi kritis yang harus ditembus.
Menurut statistik, sebagian kecil partikel memiliki energi yang sama
atau bahkan jauh lebih besar daripada energi kritis ini. Akan tetapi,
jumlah partikel yang berenergi tinggi ini sangatlah kecil sehingga
reaksi nuklir yang terjadi tidak akan cukup besar untuk dapat
berlangsung selama milyaran tahun. Bagaimanakah kita menjawab problem
ini?
Teori Kuantum menyelamatkan problem ini
dengan menawarkan cara pandang yang berbeda dalam fisika. Apabila fisika
abad ke-18 begitu deterministik dengan mengatakan bahwa posisi sebuah
partikel dapat kita ketahui dari waktu-ke-waktu, maka teori kuantum
mengatakan bahwa kita hanya dapat mengetahui peluang menemukan sebuah
partikel pada lokasi tertentu. Pada skala kecil dalam dunia partikel,
posisi sebuah partikel sama sekali tidak pasti. Ia dapat berada di mana
saja dan yang dapat kita tentukan hanyalah kebolehjadian bahwa ia akan
berada di suatu lokasi. Dengan berbekal cara pandang ini, fisikawan
kelahiran Ukraina, George Gamow, menyelesaikan problem halangan
potensial ini melalui fenomena yang disebutnya “efek terowongan
kuantum.” Melalui perspektif fisika kuantum, kita dapat menghitung
peluang untuk dapat menemukan sebuah partikel berada di dalam
jarak kritis tersebut, dan dengan demikian dapat melebur dan memulai
reaksi nuklir. Peluang ini semakin meningkat dengan semakin tingginya
energi partikel tersebut, dan dengan membandingkannya dengan distribusi
energi suatu kumpulan partikel, dapat dihitung rentang energi di mana
reaksi nuklir paling mungkin terjadi. Perubahan cara pandang ini
memungkinkan kita menyelesaikan problem pembangkitan energi di dalam
bintang. Gamow, fisikawan Uni Soviet yang kemudian melarikan diri ke
Amerika Serikat, memikirkan efek terowongan untuk menjelaskan fenomena
peluruhan dalam perspektif fisika kuantum. Namun kemudian diketahui
bahwa efek terowongan ini juga berlaku secara umum dan dapat digunakan
pula untuk menjelaskan fenomena sebaliknya yaitu bergabungnya inti-inti
atom.
Hans Bethe pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1935 dan kemudian memimpin Divisi Teoritis di Laboratorium Los Alamos
Pekerjaan Houtermans tentang reaksi
nuklir dalam bintang kemudian dilanjutkan oleh Hans Bethe. Lahir di
Straßburg, Jerman (kemudian menjadi Strasbourg dan masuk ke wilayah
Perancis) pada tahun 1906, Bethe memperoleh gelar Doktornya dari
Universitas Muenchen, Jerman, di bawah bimbingan Arnold Sommerfeld.
Setelah bekerja di Cambridge dan di Roma bersama Enrico Fermi, Bethe
mengajar di Universitas Tübingen hingga tahun 1933. Saat itu Partai Nazi
berkuasa dan Bethe dipecat dari pekerjaannya karena ibunya orang
Yahudi. Bethe pindah ke Inggris dan pada tahun 1935 pindah ke Amerika
Serikat. Bersama banyak fisikawan nuklir lainnya, Bethe kemudian bekerja
mengembangkan bom atom di Laboratorium Los Alamos, dan memimpin Divisi
Teoritis.
Bidang kerja Bethe mengenai fisika nuklir
memungkinkannya mengidentifikasi jalur-jalur reaksi fusi yang
memungkinkan terciptanya inti Helium yang stabil. Atom sebuah unsur
memiliki bermacam-macam jenis yang disebut isotop. Yang membedakan
isotop sebuah unsur dengan yang lain adalah jumlah neutron yang
terkandung di dalam nukleusnya. Hidrogen netral atau Protium, misalnya,
memiliki 1 proton dan 1 elektron. Deuterium, salah satu isotop Hidrogen,
memiliki tambahan 1 neutron dan relatif stabil. Helium-3 dan Helium-4
adalah dua dari 8 isotop atom Helium yang stabil, masing-masing memiliki
1 dan 2 neutron pada intinya. Houtermans mengharapkan bahwa reaksi fusi
dalam bintang terjadi melalui penggabungan dua inti Hidrogen netral
menjadi Diproton, isotop Helium yang sangat ringan dan tak stabil. Dua
buah neutron dibutuhkan untuk menciptakan isotop Helium yang stabil,
namun pada saat Houtermans dan Atkinson menulis makalah mereka pada
tahun 1929, keberadaan neutron masih merupakan hipotesis. Akibatnya
perhitungan Houtermans belumlah lengkap.
Pada saat Bethe melanjutkan pekerjaan
Houtermans, gambaran kita mengenai dunia atom sudah lebih lengkap. Dua
buah atom Hidrogen netral dapat melebur terlebih dahulu untuk membentuk
Deuterium. Selanjutnya, Bethe melihat Deuterium ini dapat menangkap 1
atom Hidrogen netral lain untuk membentuk Helium-3 yang relatif cukup
stabil. Dua buah Helium-3 ini kemudian dapat melebur untuk membentuk
Helium-4 yang lebih stabil dan nonradioaktif. Sebagai produk samping,
dua buah atom Hidrogen akan dilepaskan. Reaksi ini kemudian dikenal
dengan Reaksi Proton-Proton atau Reaksi PP, karena semuanya berawal dari
dua buah Proton yang melebur.
Reaksi
Proton-Proton. Dua buah atom Hidrogen akan membentuk Deuterium,
selanjutnya Deuterium ini akan menangkap Hidrogen netral untuk membentuk
Helium-3, dan Helium-3 akan menangkap Helium-3 lain untuk menghasilkan
Helium-4. Dua buah atom Hidrogen netral akan dilepaskan sebagai produk
samping.
Reaksi Proton-Proton masih dapat
dilanjutkan menjadi Reaksi PP-II. Helium-3 dan Helium-4 dapat melebur
untuk membentuk Berilium-7 yang dapat menangkap sebuah elektron untuk
menjadi Litium-7 yang stabil. Selanjutnya Litium-7 dapat menangkap
sebuah atom Hidrogen dan berubah menjadi 2 buah atom Helium-4. Ini
terjadi bila suhu inti berkisar antara 14 hingga 23 Juta Kelvin. Pada
suhu inti di atas 23 Kelvin, terjadi reaksi PP-III: Berilium-7 akan
menangkap Hidrogen netral dan berubah menjadi Boron-8. Karena Boron-8
tak stabil, ia akan meluruh menjadi Berilium-8, yang pada gilirannya
akan meluruh menjadi 2 buah atom Helium.
Selain Reaksi PP, Bethe juga mengusulkan
rute lain untuk menciptakan rute lain yang menggunakan atom Karbon
sebagai pemicu yang berfungsi menangkap atom Hidrogen. Bila di dalam
inti Matahari terdapat Karbon-12, maka setiap inti Karbon-12 akan dapat
menangkap Hidrogen untuk membentuk inti atom-atom yang lebih berat,
yaitu berturut-turut Nitrogen dan Oksigen. Nitrogen-15 (lihat gambar)
tidak stabil sifatnya dan akan melebur kembali menjadi Karbon-12 dan
akan kembali menangkap sebuah atom Hidrogen untuk memulai siklus ini
kembali ke awal. Karena reaksi rantai ini membentuk sebuah siklus, maka
rangkaian reaksi ini dinamakan Siklus atau Daur Karbon.
Daur Karbon yang diusulkan Bethe dan Carl von Weizsäcker
Pada awalnya dua reaksi nuklir ini masih
bersifat spekulasi. Fisikawan-fisikawan lain kemudian memeriksa
perhitungan-perhitungan Bethe dan memastikan bahwa reaksi ini dapat
terjadi apabila kondisinya tepat.
Hans
Bethe dan Siklus Karbon. Foto ini diambil di Universitas Cornell pada
tahun 1996, saat Bethe berusia 90 tahun. Kredit foto: Michael Okoniewski
Pada tahun 1940an jelaslah bahwa
reaksi-reaksi inti ini memang benar-benar terjadi di dalam “tungku”
Matahari. Pengamatan spektrum matahari lagi-lagi menjadi kunci karena
kelimpahan unsur-unsur kimia yang dihasilkan dari reaksi-reaksi ini
dapat dikonfirmasi melalui spektroskopi Matahari. Atas jasa-jasa Bethe
mengidentifikasi produksi energi bintang-bintang, ia diganjar Hadiah
Nobel pada tahun 1967.
Setelah melihat bentuk Reaksi PP maupun
Siklus Karbon, kita mungkin dapat melihat bahwa reaksi ini pada intinya
mengubah Hidrogen menjadi Helium. Perlahan tapi pasti, Hidrogen berubah
bentuk menjadi Helium dan dapat habis. Pada akhirnya, apabila sebuah
bintang tak dapat lagi membakar Hidrogen menjadi Helium, maka cara lain
untuk membangkitkan energi yang dapat mengimbangi tekanan gravitasi
harus terjadi. Apabila tidak ada, maka bintang tak akan sanggup menahan
tekanan gravitasi dan akan runtuh. Apakah masih ada cara lain?
Dua buah atom Helium-4 dapat bergabung
untuk membentuk Berilium-8, yang pada gilirannya dapat menangkap sebuah
atom Helium-4 lain untuk menjadi Karbon-12. Reaksi ini sangat penting
perannya karena merupakan satu-satunya reaksi nuklir yang dapat
menciptakan unsur Karbon dalam jumlah signifikan di jagad raya ini.
Namun banyak problem yang menghambat reaksi ini dapat terjadi. Reaksi
ini hanya dapat terjadi pada suhu yang ekstrim tinggi, yaitu pada suhu
100 Juta Kelvin. Syarat lain untuk dapat terjadi adalah apabila terdapat
atom Helium-4 dalam jumlah besar. Masalah berikutnya adalah Berilium-8
merupakan atom yang sangat tak stabil dan hanya mampu bertahan dalam
waktu kurang dari 10-18 detik atau hanya satu per milyar
milyar detik, amat sangat singkat! Hampir tak mungkin Berilium-8—sebelum
peluruhannya —dapat menangkap Helium-4 terdekat untuk berubah menjadi
Karbon-12. Bahkan bila ini dapat terjadi pun, masih ada rintangan lain
yang harus dihadapi.
Reaksi Triple Alpha yang diciptakan oleh Fred Hoyle
Fred Hoyle (1915–2001), astrofisikawan Inggris yang sangat kontroversial.
Massa gabungan Helium-4 dengan Berilium-8
lebih besar daripada massa Karbon-12, jadi apabila kedua atom dapat
bergabung sekalipun, akan ada kelebihan massa yang harus dibuang. Tentu
saja kelebihan massa ini akan diubah menjadi energi melalui persamaan E = mc2,
namun semakin besar perbedaan massanya maka waktu reaksinya akan
semakin lama dan Berilium-8, yang waktu peluruhannya sangat cepat, tidak
punya waktu untuk menunggu reaksi ini selesai. Karbon-12 harus
terbentuk dengan segera karena usia Berilium-8 teramat sangat pendek.
Karbon adalah unsur paling berlimpah di
alam semesta setelah Hidrogen, Helium, dan Oksigen. George Gamow dan
mahasiswa bimbingannya, Ralph Alpher, menemukan bahwa dalam waktu
beberapa menit sesudah big bang terjadi, alam semesta terdiri
atas 75% Hidrogen dan 25% Helium, namun unsur-unsur yang lebih berat
dari itu tidak tercipta karena alam semesta keburu mendingin sebelum
terjadi reaksi fusi yang memungkinkan terjadinya pembentukan unsur-unsur
berat. Namun kenyataannya, di Bumi ini kita menemukan unsur-unsur
berat, mulai dari Hidrogen, Helium, Litium, hingga Uranium, Plutonium,
dan seterusnya. Di Bumi kita, elemen-elemen berat seperti Silikon,
Aluminium, Besi, adalah unsur-unsur paling berlimpah. Tubuh manusia
mengandung 18.5% Karbon dan kita mengetahui Karbon adalah unsur yang
selalu hadir dalam hampir segala bentuk kehidupan. Menjawab pertanyaan
mengenai asal-usul unsur berat ini sama artinya dengan menjawab sebagian
pertanyaan mengenai asal-usul kehidupan, sebuah pertanyaan yang
terus-menerus ditanyakan peradaban manusia.
Untuk menjelaskan pembentukan unsur-unsur
berat di alam semesta inilah, Fred Hoyle, astrofisikawan Inggris,
menciptakan reaksi Triple-Alpha. Ia menemukan bahwa satu-satunya cara
untuk menciptakan Karbon adalah melalui reaksi nuklir di alam inti
bintang yang luar biasa panas dan penuh dengan Helium. Namun reaksi ini
pun, bila dapat terjadi, amat bermasalah. Pertama, Berilium-8 teramat
tidak stabil dan tak dapat bertahan lama. Kedua, perubahan Helium dan
Berilium menjadi Karbon membutuhkan waktu yang cukup signifikan karena
adanya perbedaan massa yang besar. Nampaknya tidak ada solusi atas
situasi ini, namun Hoyle mampu menyelesaikannya dengan brilian. Proses
olah pikir Hoyle dalam menjawab masalah ini akan menjadi topik
berikutnya.
sumber : http://galeribimasakti.wordpress.com/bima-sakti/bintang/cara-kerja-bintang/
0 komentar:
Posting Komentar